Hehehe, mirip syair dangdut jaman kapan dulu, ya? Tulisan ini tak akan bercerita tentang ketipung, lagu, ataupun goyang pinggul. Namun tentang fragmen parodi dari sebuah elegi kerinduan. Sebuah pemahaman yang kemudian boleh jadi muncul sedikit telat. Jika masih ada yang mengerutkan kening tanda penasaran akan korelasi antar kalimat diatas mari kita lanjutkan dengan bertamu ke paragrap dibawah.
Langit beranjak gelap saat uda mendekati pagar kontrakan. Seperti biasa rengek gembira Hanifa menyambut dari dalam kontrakan. Amat bergairah dan bertenaga sampai suaranya berontak keluar menyambangi telinga uda. Uda parkir Spuki dan preteli masker, sarung tangan, dan kresek berisi bekal. Uda singkap tirai kamar. Bukan permaisuri yang ada disana. Malah si mbah yang sedang asyik bercengkrama menemani Hanifa. Uda lihat ke dapur, kosong. Di kamar mandi juga nihil. Ada sebentuk rindu hadir. Namun secara tak terbendung rasa gelisah juga turut mampir “Ummi masih ada acara di kantor, Bi…Tadi nelpon ke eyang sebelah” terang si mbah yang menyadari keterkejutan uda. Tangan Hanifa menggapai-gapai minta dipangku. Uda angkat sekali ayun. Uda tempelkan pipinya sehingga pipi kami saling bertemu. Uda dekap ia tak terlalu lama. Sampai kemudian ia kembali meronta minta dikembalikan pada si mbah. Hehe, cuma ucapan selamat datang rupanya ya, Nak. Bukan minta digendong beneran..
Tak ada hape di tangan untuk mengusir resah. Uda gali-gali isi tas sampai akhirnya menemukan hape feleksi yang lama tak diketemukan. Uda pencet tombol kehidupannya. Ia hidup sebentar untuk kemudian kembali mati. Uda duduk sebentar mencoba memutar otak. Uda obrak abrik laci kecil. Kemudian menggenggam beberapa recehan uang logam dan beranjak tergesa ke telepon umum di ujung gang kontrakan. Sambil sesekali memperhatikan gelagat sepeda ontel pink milik bidadari yang mungkin melintas. Uda masukkan beberapa keping receh sampai kemudian menyadari usaha itu sia-sia. Karena telepon umum tak berkorelasi dengan hape. Haha, mereka belum melakukan merger mungkin, entahlah.
Dengan kegelisahan yang sama sekali belum menyusut uda sambangi gang depan kontrakan yang dekat dengan keramaian. Uda perhatikan orang-orang. Adakah wajah ramah yang bisa dimintai infaq pulsanya. Tampaknya belum ada yang mendekati potensial. Uda urungkan ide mengemis pulsa itu. Sambil mencari alternatif lain.
Uda sudah duduk berhadap-hadapan dengan sebuah situs chatting. Uda temukan beberapa kawan masih siaga di dunia mayanya. Beberapa orang uda sapa. Belum ada respon dan kegelisahan ini semakin menggila saja. Rindu uda sudah bertumpukan dengan kecemasan berlebih. Sampai seorang kawan diujung sana menanyakan keperluan uda. Sebut saja namanya Pipit. “Kenapa mas Ki’?” uda sampaikan hajat uda padanya, “Hubungi istri uda dong. Hape uda ga ketemu. Ke 0813-xxxx-xxxx, ya. Nanya aja ke beliau lagi dimana. Maaf merepotkan, Pit.. Khawatir nih uda soalnya.” Penjelasan Pipit yang menutup perbincangan kami melegakan hati uda “Lagi lembur mas katanya. Tapi ni dah OTW ke rumah”.
Di rumah, rampung mandi permaisuri uda tersenyum menyambut. Uda coba tafsirkan arti senyuman misterius itu. Inilah mungkin gejolak rasa permaisuri uda selama ini jika uda pulang malam tanpa kabar. Malam itu senyap memagut elegi rindu uda. Pemahaman terlambat yang menuntun ke perenungan. Namun tak lama semua cair, parodi yang baru saja uda rasakan mengurai gelak tawa kami dan menyisip hikmah teramat kental. Sekental kopi yang uda minta permaisuri buatkan. 😀
* Tulisan yang hadir untuk merangkum penyesalan mendalam, yang mudah-mudahan diikuti oleh aksi insyaf