Category Archives: Roman Cinta

BARU SEKARANG, OH UDA MERASAKAN

Pelaku utama     : uda
Waktu kejadian : 20.30 tanggal 22 november 2011
 

 Hehehe, mirip syair dangdut jaman kapan dulu, ya? Tulisan ini tak akan bercerita tentang ketipung, lagu, ataupun goyang pinggul. Namun tentang fragmen parodi dari sebuah elegi kerinduan. Sebuah pemahaman yang kemudian boleh jadi muncul sedikit telat. Jika masih ada yang mengerutkan kening tanda penasaran akan korelasi antar kalimat diatas mari kita lanjutkan dengan bertamu ke paragrap dibawah.

Langit beranjak gelap saat uda mendekati pagar kontrakan. Seperti biasa rengek gembira Hanifa menyambut dari dalam kontrakan. Amat bergairah dan bertenaga sampai suaranya berontak keluar menyambangi telinga uda. Uda parkir Spuki  dan preteli  masker, sarung tangan, dan kresek berisi bekal. Uda singkap tirai kamar. Bukan permaisuri yang ada disana. Malah si mbah yang sedang asyik bercengkrama menemani  Hanifa. Uda lihat ke dapur, kosong. Di kamar mandi juga nihil. Ada sebentuk rindu hadir. Namun secara tak terbendung rasa gelisah juga turut mampir “Ummi masih ada acara di kantor, Bi…Tadi nelpon ke eyang sebelah” terang si mbah yang menyadari keterkejutan uda.  Tangan Hanifa menggapai-gapai minta dipangku. Uda angkat sekali ayun. Uda tempelkan pipinya sehingga pipi kami saling bertemu. Uda dekap ia tak terlalu lama. Sampai kemudian ia kembali meronta minta dikembalikan pada si mbah. Hehe, cuma ucapan selamat datang rupanya ya, Nak. Bukan minta digendong beneran..

Tak ada hape di tangan untuk mengusir resah. Uda gali-gali isi tas sampai akhirnya menemukan hape feleksi yang lama tak diketemukan. Uda pencet tombol kehidupannya. Ia hidup sebentar untuk kemudian kembali mati. Uda duduk sebentar mencoba memutar otak. Uda obrak abrik laci kecil. Kemudian menggenggam beberapa recehan uang logam dan beranjak tergesa ke telepon umum di ujung gang kontrakan. Sambil sesekali memperhatikan gelagat sepeda ontel pink milik bidadari yang mungkin melintas. Uda masukkan beberapa keping receh sampai kemudian menyadari usaha itu sia-sia. Karena telepon umum tak berkorelasi dengan hape. Haha, mereka belum melakukan merger mungkin, entahlah.

Dengan kegelisahan yang sama sekali belum menyusut uda sambangi gang depan kontrakan yang dekat dengan keramaian. Uda perhatikan orang-orang. Adakah wajah ramah yang bisa dimintai infaq pulsanya. Tampaknya belum ada yang mendekati potensial. Uda urungkan ide mengemis pulsa itu. Sambil mencari alternatif lain.

Uda sudah duduk berhadap-hadapan dengan sebuah situs chatting. Uda temukan beberapa kawan masih siaga di dunia mayanya. Beberapa orang uda sapa. Belum ada respon dan kegelisahan ini semakin menggila saja. Rindu uda sudah bertumpukan dengan kecemasan berlebih. Sampai seorang kawan diujung sana menanyakan keperluan uda. Sebut saja namanya Pipit. “Kenapa mas Ki’?” uda sampaikan hajat uda padanya, “Hubungi istri uda dong. Hape uda ga ketemu. Ke 0813-xxxx-xxxx, ya. Nanya aja ke beliau lagi dimana. Maaf merepotkan, Pit..  Khawatir nih uda soalnya.” Penjelasan Pipit yang menutup perbincangan kami melegakan hati uda “Lagi lembur mas katanya. Tapi ni dah OTW ke rumah”.

Di rumah, rampung mandi permaisuri uda tersenyum menyambut. Uda coba tafsirkan arti senyuman misterius itu. Inilah mungkin gejolak rasa permaisuri uda selama ini jika uda pulang malam tanpa kabar. Malam itu senyap memagut elegi rindu uda. Pemahaman terlambat yang menuntun ke perenungan. Namun tak lama semua cair, parodi yang baru saja uda rasakan mengurai gelak tawa kami dan menyisip hikmah teramat kental.  Sekental kopi yang uda minta permaisuri buatkan. 😀

* Tulisan yang hadir untuk merangkum penyesalan mendalam, yang mudah-mudahan diikuti oleh aksi insyaf

#di Sepasang Cangkir ini..

satu dari sepasang mug

satu dari sepasang mug

— 03 April 2011, 18.45 WIB

Uda pamit tanpa menjelaskan tujuan. Permaisuri uda cuma memandang heran. Lalu kembali bergelut manja dengan Hanifa. Keramaian hajatan Maulid Nabi telah menutup jalan raya, uda dan Scoopy terpaksa menyusuri lorong-lorong gang sempit. Meliuk-liuk menghindari lalu lalang kendaraan lain yang juga tersendat macet.

Uda sematkan gagang kaki Scoopy di tanah. Uda pandangi laboratorium cinta itu. Uda genggam tabung formula yang uda bawa. Isinya adalah virus-virus yang mampu melumpuhkan jenuh dan hambarnya asmara. Lalu petugas mengambil alih dan mulai meracik virus dari formula tadi. Butuh waktu agak lama, maka uda tinggalkan ia sejenak.

***

— 03 April 2011, 20.45 WIB

Lagi-lagi uda pamit secara misterius. Tiba di laboratorium, menunggu sebentar lalu dihulurkanlah barang pesanan uda. Sudah rapi dibungkus dalam dua kotak putih. Uda dekap puas bungkusan itu, lalu menghela Scoopy menerabas gelita.

Dalam perjalanan pulang, uda sempatkan singgah di laboratorium lain, untuk mendapatkan perekat ajaib dan sampul cantik. Uda dan Scoopy saling tatap dalam sukacita. Rencana kami akan berjalan sempurna. Besok pagi isi dalam kotak putih ini akan menciptakan semacam reaksi kimia pada calon korban kami. Bukan seperti teror bom yang menakutkan. Ini adalah sesuatu yang bisa membuat pipi memerah. Dan hati bergairah.

Uda rakit ketiga barang tadi dengan amat antusias. Sambil beberapa kali melirik permaisuri uda yang sudah lena dalam tidurnya. Rencana hebat ini tak boleh terendus dini. Bisa rusak semua efek dan gejala yang akan ditimbulkannya.

***

— 04 April 2011, 06.40 WIB

Uda berangkat setelah tangan uda dicium takzim oleh permaisuri dan Hanifa. Setelah meliuk merubah arah, masuk gerbang, melewati pintu, menaiki lift, dan akhirnya sampai di ruangan kerjanya, Uda letakkan barang rakitan tadi di meja kantor permaisuri uda.

***

Tak menunggu terlampau lama, reaksi yang uda nanti-nanti muncul, di monitor kerja uda, permaisuri menyapa via g-talk,

Jazakallah, Uda. Dag dig dug pas mau buka, kayak orang pacaran aja. dan obrolan mengalir sampai akhir…—

Ya, cangkir coklat itu dihiasi dua pose gambar uda dan permaisuri. Turut di dalamnya, uda sematkan kertas bertuliskan kalimat sederhana.

Mug ini ada sepasang, satu ada pada Uda. untuk terus mengikat memorimu pada Uda, pada “kita” makna tambahannya kira-kira begini;

Cangkir ini ada sepasang, satu disana dan satu pada Uda. Setiap mereguk minuman dari cangkir ini bayangkan bahwa kita juga sedang mereguk cinta. Sehingga cinta itu tak akan pernah terasa berkurang, namun akan selalu bertambah-tambah.

Disana. Di cangkir itu juga ada angka-angka yang harus selalu kami kenang, bak kode brankas cinta. Angka ‘404’, yaitu momentum kelahiran permaisuri uda. Lalu ‘313’, tanggal milad Uda. Dan terakhir disusul ‘307’, hari bersejarah bagi kami berdua. Hari dimana kami ‘jadian’.

***

*Semoga usia permaisuri yang tersisa bisa membawa barokah. Bagi diri permaisuri uda, uda, dan Hanifa. Tak lupa menjadi cahaya bagi semesta

“Gandeng-Gandengan”

*bahan utama tulisan (yang berwarna merah) berasal dari zawjatee

Banyak cara untuk menunjukkan cinta. Sebanyak jalan ke roma. Bisa dengan rayuan, sajak-sajak indah, kado istimewa, beragam corak bunga. Tapi kali ini ada satu cara yang tersimpan rapi dalam file perjalanan cinta uda dan permaisuri uda. Kami menyebutnya genggaman mesra. Saling bergandeng tangan. Menggamit erat bahagia. Membagi keceriaan dalam kebersamaan. Ada sedikit testimoni dari permaisuri uda, dikirimkan via email. Sebuah kesan manis darinya tentang kami saat bergandengan tangan.

TULISAN DARI PERMAISURI UDA:

Sesampai di tempat tujuan, terlihat ustadz yang akan mengajar kami masih di luar ruangan, pertanda pelajaran belum dimulai. Aku menunggu suami yang sedang memarkir motor untuk jalan bareng. Tiba-tiba dengan pede-nya Uda menggandeng tanganku. Sebenarnya memang sudah biasa seperti itu setiap kuliah akhir pekan. Di sepanjang lorong ma’had menuju kelas kami selalu bergandengan. Jadi inget lagu klasik, –sepanjang jalan kenangan, kita slalu bergandeng tangan- ;p . Tapi itu kan saat suasana sepi karena kami selalu datang terlambat, hehe. Kali ini beda, ini masih di halaman!! Aku tidak bisa dan tidak mau membayangkan perasaan tukang siomay, tukang parkir dan orang-orang yang -dengan tidak sengaja- melihat adegan itu.

Seketika ada debaran halus di hatiku. Persis debaran saat Uda memegang tanganku sepanjang jalan menuju kontrakan setiap kali aku menjemputnya dari stasiun Purwosari, Solo dulu. Juga dalam perjalanan menuju kostnya ketika tiba giliranku untuk mengunjunginya di Jakarta. Entah kenapa hatiku selalu berdebar, padahal kejadian itu sudah rutinitas tiap akhir pekan. Dan kali ini, mungkin karena baru saja ada nuansa dingin di antara kami, hingga hatiku membuncah gembira ketika Uda menggandeng tanganku. Itu artinya masa berantem kami memang benar-benar sudah berakhir. Alhamdulillah…

Memang dalam beberapa keadaan, kemesraan tidak selayaknya diumbar ke khalayak. Namun selama masih tidak berlebihan sepertinya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Junjungan kita, nabi Muhammad saw pernah bersabda, “Apabila pasangan suami istri berpegangan tangan, dosa-dosa akan keluar melalui celah-celah jari mereka”. Jadi membuat istri merona pipinya sekaligus menggugurkan dosa, tunggu apalagi?. 😀

LENONG HUJAN

Kisah menyungging senyum tak cuma muncul di arena lawak atau panggung komedi. Romansa itu hadir siang ini, saat hujan perlahan memeluk bumi dengan rintiknya. Dengan pemeran utamanya adalah permaisuri uda, yang kali ini tampil sangat melankolis, dengan payung ungu dan jaket abunya.

—-

dansa payung

Uda tatap keluar masjid, hujan seperti tak hendak berhenti. Masih turun dengan girangnya membawa kasih sayang dari Rabb-nya. Beberapa bapak yang beruntung membawa payung, sudah berlalu pulang. Timbul harapan permaisuri uda hadir bersama payung ungunya. Hujan rintik-rintik dan payung adalah pasangan serasi. Pasti, romantis sekali. Berdansa dibawah payung dengan latar irama rerintik hujan.

Uda gulung kelopak bawah celana setinggi betis. Lalu uda berlari menyibak gerimis. Di depan gang, uda kembali berteduh sejenak. Mengamati binar hujan yang mulai mereda.

—-

Permaisuri uda gelisah melihat payung masih berada di tempatnya. Diluar, bunyi hujan cukup deras untuk membuat suaminya [uda-red] kuyup. Dikenakannya jaket abu-abu milik uda. Setelah membentang payung ungu, ia berjalan menuju masjid demi menemui uda.

—-

Uda singgah di minimarket kecil depang gang kontrakan. Uda masuk dan mencari susu kedelai untuk permaisuri.Lalu beberapa saat setelahnya, bak adegan sinetron, permaisuri uda lewat di sebelah minimarket.  Selesai transaksi, uda menuju kontrakan menggenggam bungkusan berisi susu kedelai.

—-

Sampai di masjid, mata permaisuri uda menjelajah satu persatu, sandal yang parkir di teras masjid.  Ia tak melihat sandal uda disana. Lalu sejarah berulang. Persis serupa sebagaimana mama uda. Dulu, ketika uda  masih bergelut di SMA.  Menjelang malam dan uda belum pulang ke rumah, mama akan menelepon semua teman uda. Bagai orang hilang, uda dicari kesana kemari.

Permaisuri uda masih penasaran. Ia putuskan melangkah masuk ke dalam masjid. Celingak-celinguk sebentar. Lalu ia dihampiri seorang bapak yang sedari tadi heran melihat gelagatnya. “Ada apa, neng?” Permaisuri uda gelagapan. “Ini Pak, em..saya nyari suami saya” Bapak paruh baya kocak ini tertawa kecil mendengar pertanyaan polos itu. Dengan suara agak keras, ia menanyakan dengan nada canda pada teman-temannya di dalam masjid , “Ada yang merasa kehilangan istri, disini?”.

Jika ada yang tertawa, mudah-mudahan tidak seperti tawa uda saat mendengar cerita ini dari permaisuri uda ketika sudah sampai di kontrakan. Sebuah tawa yang juga disambut tawa oleh permaisuri uda. 🙂

Semarak Cinta, Kala Update Disambi Photocopy

* mengenang 365 hari semarak cinta, persembahan khusus untuk : Zawjatee, Esti Dwi Apriliani

Kisah cinta ini, Allah yang menuliskannya...

Termasuk strategi bodoh saat mengendarai kereta ekonomi adalah menempati tempat duduk kosong yang terlihat menggoda, cuma berbekal tiket tanpa duduk. Jadilah malam ini, uda habiskan dengan menggonti-ganti pose berdiri uda, layaknya model di panggung catwalk. Setelah beberapa menit sebelumnya diusir oleh si empunya bangku. Dingin angin malam meniup-niup pori-pori tubuh uda. Lembab dan menusuk. Menjadikan pasokan angin di dalam perut uda menjadi berlebih. Dan sobat, efeknya jelas, sendawa terus-menerus, yang amat menyiksa. Dan kemudian dilengkapi secara sempurna dengan serbuan amunisi gas bau yang berasal dari organ tubuh bagian bawah uda. Agar serangan itu tidak cuma menzolimi satu sasaran saja, beberapa kali uda coba bermanuver. Ke kiri kanan. Kemudian membalik seratus delapan puluh derajat posisi tubuh uda. Setidaknya malam itu masih tersisa perasaan simpati dan prihatin pada hati uda, yang pada saat itu sebenarnya juga amat patut dikasihani.

Menjelang tengah malam, kepala uda mulai pusing. Perut uda bergelut dengan rasa mual. Uda rasa ini karena Uda telah ceroboh ketika akan menempuh perjalanan jarak jauh. Bayangkan, uda berangkat cuma berbekal sarapan pagi. Dan malam ini sari-sari makanan tadi pagi yang telah lenyap entah kemana, tidak mampu menyuplai energi uda. Rasa lemas Uda semakin bertambah ketika mengingat apa yang akan uda hadapi besok. Tumpukan dokumen. Lembaran-lembaran kertas. Mesin photocopy. Dengan kondisi lelah macam ini tentu pemandangan itu menjadi momok bagi pikiran uda. Ya, menjadi beban. Sampai kemudian Uda mengingat satu kosa kata lagi. Kosa kata yang agak-agak beraroma asing. Update. Memperbaharui. Uda kesana tidak dalam rangka sekedar mempotokopi. Bukan untuk urusan seteknis itu.

Uda akan memperbaharui hubungan uda dengannya. Mengikatkan kembali memori-memori yang mungkin kemarin telah sedikit tercerai berai. Mengingatkan kembali calon mertua uda bahwa mereka punya calon menantu yang patut disyukuri untuk didapatkan. Seorang menantu yang mau bertanggungjawab. Bersedia menempuh perjalanan jauh ini demi memenuhi undangan mereka. Perjalanan ini juga sebagai penjelasan untuk calon permaisuri uda [Ani-red]. Bahwa uda sanggup melakukan ini untuknya. Meski dalam status yang masih lumayan menggantung ini. Uda hanya ingin rasa percayanya juga terbaharui. Keyakinan dalam hatinya terupdate, bahwa uda tak akan berpaling. Bahwa uda tetap akan komitmen pada janji khitbah uda (pinangan-red). Dengan tentu saja, juga memperbaharui kesan-kesan yang bisa menguatkan azzam uda untuk menggamit cintanya.

Mak Comblang yang Harus Bertanggungjawab

Di stasiun, sahabat sepuh uda menyambut bersama senyuman tipisnya yang teramat khas. Teman yang telah sejak lama menemani masa-masa lincah uda di perkuliahan itu, tersenyum seperti tanpa ekspresi. Ia kulum sendiri sesuatu yang ia rasa, tanpa ingin membaginya. Benar-benar cara rakus dalam menikmati sebuah momen indah. Tatapan matanya menjalari tiap buku-buku tubuh Uda. Lama dan iapun tersenyum dengan sudut bibir sedikit lebih memanjang namun tetap dalam keadaan tetap dikulum. Senyuman setelah membaca dengan lengkap